Kamis, 10 Desember 2009

Anak Harus Dilibatkan Dalam Mewujudkan KLA

Suara anak, ide anak, kreatifitas anak, keberanian anak dalam menyampaikan pendapatnya, dan sebagainya perlu diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya. Karena itu semua adalah sebuah hak yang seharusnya didapatkan oleh anak-anak, dan pemerintah selaku pemangku kebijakan wajib dan bertanggungjawab untuk memberikannya secara cuma-cuma alias GRATIS. Suara anak atau sering anak-anak menyebutnya HAK PARTISIPASI sudah seharusnya didengar oleh pemerintah dan tidak hanya didengar, namun anak-anak juga seharusnya dilibatkan dalam musyawarah perencanaan pembangunan wilayahnya masing-masing, baik melalui MUSRENBANGPROV, MUSRENBANGKAB/KOT, MUSRENBANGDES, dan sebagainya. Jika hak partisipasi anak tersebut tidak dihiraukan oleh Pemerintah, maka secara tidak langsung pemerintah selaku pemangku kebijakan negara telah melakukan pelanggaran terhadap KHA (konvensi hak anak) dan UU perlindungan anak. Sebenarnya jika anak-anak negeri tercinta ini dipelihara dengan baik, diberikan kasih sayang, dan diberikan hak-haknya selaku anak, ini merupakan sebuah aset negara yang tak ternilai harganya, terus siapa lagi yang mau memberikan perlindungan kepada anak-anak negeri tercinta ini kalau bukan negara Indonesia sendiri. sudah saatnya anak-anak Indonesia diberikan kehidupan yang layak, agar dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan sudah meluncurkan program Kota Layak Anak, yang sering disingkat dengan sebutan KLA, dan sudah ada kebijakannya dengan munculnya indikator KLA dan gugus tugas nasional KLA. Dan kebijakan tersebut sudah ditindak lanjuti oleh Pemprov Jateng dengan menyusun indikator KLA. Namun yang terjadi adalah dalam penyusunan indikator tersebut anak-anak belum dilibatkan, dan sampai sekarang Indikator KLA tersebut belum tahu akan dibawa kemana? dan bagaimana untuk Gugus Tugas KLA nya sendiri? apakah sudah terbentuk atau belum. Mungkin inilah yang menjadi renungan kita bersama bagi para pemerintah, masyarakat dan praktisi perlindungan anak yang ada di Jawa Tengah untuk berpikir bersama dan bagaimana untuk memebrikan solusi bersama agar KLA di Jateng dapat terwujud. Menjembatani hal tersebut diatas, Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak (LPPA) Jawa Tengah mengadakan kerjasama dengan PLAN Indonesia untuk mendorong perwujudan dari KLA. untuk tahun 2009 - 2010 LPPA Jateng - PLAN menyelengarakan program bersama "Mendorong Partisipasi Anak dalam Advokasi Program KAb/Kota Layak di Jawa Tengah".

Senin, 26 Oktober 2009

Pelaku Pelecehan Seksual Anak Wajib dihukum Berat

Lintas Muria

24 Oktober 2009

LBH Kecewa AKN Divonis 7 Tahun

PATI-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Advokasi Nasional kecewa dengan putusan tujuh tahun enam bulan penjara dan denda Rp 100 juta subsider dua bulan kurungan terhadap terdakwa Ahmad Khoriun Nasihin (AKN) yang didakwa menyodomi puluhan santrinya yang masih di bawah umur.
Vonis tersebut dinilai tidak sepadan dengan banyaknya korban. Direktur LBH Advokasi Nasional Maskuri SH mengatakan, perbuatan yang dilakukan pendiri SMP/SMK Telkom Terpadu, dan pesantren AKN Marzuqi Dusun Slempung, Desa/Kecamatan Dukuhseti itu pantas dijatuhi hukuman maksimal, seperti dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
AKN dinyatakan JPU terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan cabul terhadap anak sesuai dakwaan pasal 82 UU 23/2002.
Karena itu, terdakwa dituntut dengan kurungan 15 tahun dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan penjara.
“Seharusnya, banyaknya korban menjadi pertimbangan dari majelis hakim untuk menentukan putusan.
Apalagi terdakwa sebagai tokoh agama dan dalam persidangan juga tidak mengakui perbuatannya. Harusnya putusan bisa maksimal dari tuntutan jaksa,” ujar pengacara yang selama ini dipercaya sebagai kuasa hukum para korban itu, kemarin.
Lakukan Kajian Menyikapi hal itu, pihaknya akan melakukan kajian dan berkoordinasi dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perlindungan Anak.
Jika hasil kajian itu menemukan indikasi ketidakberesan atau pelanggaran dari majelis hakim maka LBH akan melaporkan ke Komisi Yudisial dan Hakim Pengawas Mahkamah Agung.
“Banyak dari orang tua korban yang mengadu kepada kami dan mengaku tidak puas dengan putusan itu. Untuk itu kami berharap JPU bisa mengajukan banding,” lanjutnya.
Keinginan pihaknya agar menempuh upaya banding bukan tanpa alasan.
Dia menjelaskan, dalam kasus pencabulan anak yang dijerat dengan pasal serupa dengan korban satu orang, JPU mengajukan banding ketika tuntutannya 12 tahun penjara diputus majelis hakim tujuh tahun.
Kasus tersebut disidangkan di Pengadilan Pati juga dan diputus pada 12 Oktober 2009.
“Maka dalam kasus AKN ini JPU wajib menyatakan banding demi rasa keadilan bagi para korban yang jumlahnya banyak. Dalam waktu dekat kami akan menemui Kajari untuk menyampaikan hal ini, karena JPU-lah yang mewakili kepentingan korban,” tandasnya.(H49-79)

TKI diluar negeri Kurang Mendapatkan perlindungan dari Pemerintah RI

Lintas Pantura

26 Oktober 2009

Lima TKI Meninggal di Luar Negeri

BREBES - Sedikitnya lima orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Kabupaten Brebes, selama tahun 2009 diketahui meninggal dunia di luar negeri.
Sesuai Data Serikat Buruh Migran Indonesia, korban meninggal akibat berbagai penyebab. Selain itu, puluhan TKI asal Brebes lainnya saat ini diketahui tengah tersangkut kasus.
Koordinator Tim Advokasi SBMI, Jamaluddin kemarin mengatakan, lima orang TKI asal Brebes yang meninggal itu disebabkan karena kecelakaan kerja dan sakit. Korban meliputi, Akhmad Rifai asal Kecamatan Kersana, Ibnu Azis (Wanasari), Daimah (Songgom), Solikhin dan Daryatun (Larangan).
Semia jenazah telah dipulangkan ke tanah air. ”Sesuai data yang kami miliki, ada lima orang TKI Brebes yang meninggal di negera tempat kerjanya. Namun, jumlah dimungkinkan bisa melebihi ini karena banyak yang tidak terdata,” ujarnya, kemarin.
Selain meninggal, lanjut dia, selama 2009 ini tercatat juga puluhan TKI asal Brebes yang tersangkut kasus di negara tempat bekerja. Kasus yang mereka alami di antaranya penganiayaan, PHK sepihak, gaji dan asuransi tidak dibayar, putus kontak dengan keluarga, serta kontrak habis tetapi tidak dipulangkan.
”Khusus kasus PHK sepihak, gaji dan asuransinya tidak dibayar kami mencatat ada sekitar 50 orang. Sedangkan untuk TKI yang putus kontak dengan keluarga sebanyak 30 orang,” terangnya.
Menurut dia, kasus PHK mayoritas menimpa TKI pria. Itu terjadi akibat dampak krisis global. Bahkan, di Dubai dan Korea Selatan sempat terjadi PHK massal. Kondisi itu di antaranya menimpa para TKI asal Kecamatan Bumiayu dan Tonjong.  Sedangkan kasus putus kotak dengan keluarga kebanyakan menimpa TKI yang ditempatkan di negara timur tengah.
”Kasus ini sekarang menjadi perhatian kami. Bahkan, satu kasus penganiayaan juga kami tangani. Yakni, yang menimpa Keni, TKW asal Losari. Saat ini kasusnya dalam proses pengadilan,” katanya.
Jamaluddin mengungkapkan, guna lebih meningkatkan perlindungan terhadap TKI Brebes, pihaknya meminta Pemkab setempat untuk segera membuat peraturan daerah (perda) Perlindungan TKI. Hal itu sangat dibutuhkan untuk mengatur dan mengantisipasi terjadinya penyimpangan di daerah. Sebab, munculnya TKI bermasalah cenderung berawal dari daerah asal pemberangkatan. ”Ini merupakan solusi yang kami nilai paling tepat,” tandasnya.
Kabid Pelatihan Tenaga Kerja dan Penempatan Transmigrasi, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemkab Brebes, Mabruri SH mengatakan, perda memang lama direncanakan dan masih dalam proses. Bahkan, telah melakukan studi banding ke beberapa daerah yang sudah mempunyai perda tersebut. Pemkab juga komintmen menindaklanjuti setiap kasus TKI. Namun, sesuai laporan yang diterima. ”Yang jelas, kami terus berupaya meningkatkan perlindungan terhadap TKI,” katanya.(H38-85)

Berharap pada Menteri Perempuan

14 Oktober 2009
Dalam sepekan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diperkirakan mulai memanggil beberapa tokoh yang dinominasikan duduk dalam kabinet periode 2009-2014. Termasuk siapa yang akan menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, atau apapun namanya. Terlepas dari siapa yang ‘’beruntung’’ terpilih, banyak agenda yang mesti dijalankan kementerian ini.

DALAM satu dasawarsa terakhir ini, upaya serius penggiat isu kesetaraan gender dan hak-hak perempuan menuai banyak kendala berarti. Mandulnya gerakan untuk kesetaraan dan keadilan gender dapat dilihat dari fakta konkret sebagai berikut.

Pertama, dalam bidang pendidikan. Kondisi biaya sekolah yang mahal menjadi kendala bagi kaum perempuan untuk bisa mengakses ke jenjang pendidikan tinggi.

Sebab ketika dihadapkan pada proses pengambilan keputusan keluarga, anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama untuk bisa melanjutkan pendidikan daripada anak perempuan. Apalagi stereotif masyarakat masih memosisikan anak perempuan pada posisi domestik, sementara lelaki sebagai pencari nafkah utama.

Kedua, dalam bidang kesehatan. Anggaran yang tidak memadahi membuat pelayanan kesehatan makin mahal dan sulit diakses masyarakat. Hal ini membuat kualitas kesehatan masyarakat terabaikan, termasuk hak-hak kesehatan reproduksi perempuan.

Akibat konkretnya, indeks Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia kini terpuruk di ASEAN. Ini merupakan ancaman serius bagi generasi muda dan masa depan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Sebab generasi yang sehat dilahirkan dari ibu-ibu yang sehat.

Ketiga, dalam bidang ekonomi, di mana sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) belum menjadi prioritas pembangunan. Padahal di sektor ini, perempuan memiliki peran yang signifikan.

Bahkan saat krisis ekonomi 1997-1998, perempuan bisa survive dalam melanjutkan pendapatan ekonomi keluarga ketika kebanyakan pencari nafkah utama dalam keluarga (baca: suami) terkena PHK.

Belum lagi aturan dalam perbankan, di mana perempuan masih terdiskriminasi dan sering kesulitan dalam mengakses modal pinjaman.


Sensitif Gender

Keempat, dalam bidang politik dan hukum. Rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif menyebabkan banyak kebijakan yang dihasilkan tidak sensitif gender.

Akibatnya, perempuan dan anak-anak masih saja dalam posisi rentan terhadap kekerasan, baik di tingkat domestik atau rumah tangga, ruang publik atau negara.

Saat ini masih banyak peraturan yang masih diskriminatif terhadap perempuan. Demikian juga alokasi anggaran yang belum sensitif jender, serta pengawasan terhadap pelanggaran hak-hak perempuan dan anak-anak yang kerap terabaikan.

Fakta miris ini amat disayangkan, mengingat pemerintah melalui GBHN 1999 menyatakan dengan tegas bahwa pengarusutamaan gender merupakan kebijakan nasional yang harus diemban oleh lembaga yang mampu mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.

Untuk itu, menghadirkan strategi jitu gerakan kesetaraan dan keadilan gender agar mampu menjangkau ke seluruh instansi pemerintah, swasta, dan masyarakat menjadi suatu keniscayaan dan bersifat mendesak.
Strategi yang dikenal dengan istilah gender mainstreaming (GMS) atau pengarusutamaan gender itu dinilai banyak pengamat sangat penting. Maka, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9/Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional.

Pengertian pengarusutamaan gender adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia, melalui kebijakan dan program yang memerhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan-lelaki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Chairil Fadhil, 2003).

Dengan demikian, kesetaraan dan keadilan gender adalah kondisi yang perlu dibangun untuk mencapai masyarakat sejahtera.


Sejumlah Utang

Terkait dengan gerakan pengarusutamaan gender, harus bahwa masih ada sejumlah utang yang belum dibayar lunas oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP) periode 2004-2009, meskipun harus diakui ada sejumlah kemajuan yang dicapai.

Tugas utama yang belum terlaksana dengan baik adalah pengarusutamaan gender pada lembaga negara, mulai dari pusat hingga daerah. Padahal pengarusutamaan gender menjadi kewajiban setiap lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif karena diatur dalam UUD Dasar 1945.

Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi, lewat UU No 7/1984. Pemerintah juga mengeluarkan PP No 8/2008 yang mengatur keharusan memasukkan perspektif gender dalam menyusun anggaran.

Tidak hanya itu, Indonesia juga telah mengikatkan diri pada Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) PBB. Ada beberapa tujuan yang ditetapkan, antara lain memromosikan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan, menurunkan angka kematian anak, memerbaiki kesehatan ibu, dan segala yang berhubungan langsung dengan perspektif keadilan gender dan perempuan.

Karena pengarusutamaan gender belum berjalan baik, dan kerja itu masih memerlukan waktu dan tenaga, kita berharap kementerian yang menangani pemberdayaan perempuan dalam kabinet mendatang harus lebih serius memerhatikan pengarusutamaan gender di berbagai lembaga negara.

Kementerian juga harus bekerja sama dengan lembaga legislatif untuk menghasilkan produk-produk hukum yang berperspektif gender.

Dalam konteks ini, pembentukan lembaga khusus yang mengurusi PUG di tiap-tiap kementerian dan pemerintahan daerah menjadi kebutuhan mendesak. (Faizi, direktur eksekutif Cahaya Institute Yogyakarta-32)

Minggu, 25 Oktober 2009

Kak Seto Adukan Hakim ke KY

Syekh Puji Bebas, Kak Seto Adukan Hakim ke KY

Indra Subagja - detikNews




Jakarta - Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak (PA) mengadukan hakim yang memutus bebas Syekh Puji ke Komisi Yudisial (KY). Dia menilai ada kejanggalan dalam vonis itu.

"Kami hari ini menulis surat ke KY untuk melakukan penyelidikan ke hakim bersangkutan, apakah ada masalah perilaku dari terbitnya putusan sela," jelas Ketua Komnas PA Seto Mulyadi melalui telepon, Rabu (14/10/2009).

Pria yang akrab disapa Kak Seto ini juga berharap, Kejaksaan terus berupaya mencari keadilan dan tidak diam saja melihat keputusan itu.

"Agar melakukan upaya hukum serius dan ini untuk kebaikan anak," tutupnya.

Syekh Puji merupakan pemilik Ponpes Miftahul Jannah sekaligus pengusaha kaligrafi dari kuningan. Dia diadili karena pernikahannya dengan Lutviana Ulfa pada Agustus 2008 silam, dianggap menyalahi UU Perlindungan Anak dan KUHP. Saat itu, Ulfa berusia 12 tahun.

Dalam sidang putusan sela di Pengadilan Negeri Ungaran pada Selasa 13 Oktober, hakim membebaskan Puji dari dakwaan karena dakwaan jaksa kurang cermat dan kabur, sehingga sidang tidak dapat dilanjutkan.

"Terdakwa dibebaskan dari dakwaan dan harus dikeluarkan tahanan," kata Hari dalam sidang dengan agenda putusan sela itu.
(ndr/nrl)

Syeh Puji Bebas, Nasib Suroso Belum Ditentukan

19 Oktober 2009 | 00:43 wib | Daerah
Semarang, CyberNews. Meski Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji sementara berlega hati karena sudah menjalani persidangan dan dalam putusan sela dakwaan jaksa penuntut umum ditolak Pengadilan Negeri Ungaran, nasib Suroso masih tidak menentu. Ayah Lutviana Ulfa ini belum jelas kapan disidangkan, meski Pujiono dan Suroso terlibat dalam satu perkara yang sama. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polwiltabes dalam waktu yang bersamaan.

Bila Pujiono dikenakan pasal eksploitasi seksual, Suroso kena pasal ekspoitasi ekonomi dimana dia dianggap membiarkan atau mengizinkan anaknya Lufiana Ulfa yang masih berumur 12 tahun 8 bulan dinikahi pengusaha kaya raya asal Desa Bedono, Kabupaten Semarang itu, secara siri.

Kajari Ambarawa Tjahjo Aditomo menyebutkan bahwa pihaknya sampai kini belum mendapat kejelasan mengenai pelimpahan tersangka Suroso dari polisi. Padahal, setelah ada pelimpahan tahap kedua Suroso berstatus tahanan Kejari Ambarawa. Tjahjo pun juga mengaku tak tidak dapat memastikan waktunya. Kejari Ambarawa dalam perkara ini pasif, pihaknya hanya menunggu surat dakwaan selesai digarap tim jaksa penuntut umum dari Kejati Jateng.

Pelimpahan tahap kedua (pelimpahan tersangka dan barang bukti) atas diri Suroso dari penyidik Polwiltabes Semarang ke Kejati Jateng dilakukan 7 Oktober lalu. Namun Suroso waktu itu belum dapat diserahkan ke Kejati lantaran yang bersangkutan masih diopname di RS Bhayangkara.

Kasi Prapenuntutan Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jateng Didik DAP ketika dihubungi terpisah mengakui jika Suroso memang ditahan di sel tahanan Polwiltabes Semarang dengan status titipan kejaksaan. Suroso akan tetap di situ sampai proses persidangan berjalan nanti.
( Yunantyo Adi / CN14 )

BURUH MIGRAN: TKI Tewas Dianiaya Majikan di Arab Saudi

Jumat, 24 Juli 2009 | 03:11 WIB
Jakarta, Kompas - Penderitaan seakan enggan menjauh dari pekerja migran Indonesia. Antin Suprihatin binti Solehudin (34), tenaga kerja asal Bandung, Jawa Barat, tewas mengenaskan dianiaya majikannya di Provinsi Ha’il, 700 kilometer barat laut dari Riyadh, Arab Saudi.
Polisi sudah menahan tujuh anggota keluarga majikan dan kasus ini dalam proses penanganan Mahkamah Investigasi di Ha’il.
Atase Ketenagakerjaan KBRI Riyadh Mustafa Kamal yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (23/7), mengungkapkan, pihaknya terus mengikuti proses hukum yang berlangsung. ”Suami, istri, dua anak, dan tiga keponakan sang majikan kini berada di dalam penjara polisi karena diduga menganiaya korban,” kata Kamal.
Mereka adalah kerabat keluarga Fahad Iyadah Al Syamri yang semula mempekerjakan Antin.
Antin bekerja sejak 17 September 2007. Janda beranak tiga ini tewas pada 23 Mei dengan luka bakar dan bekas penganiayaan berat. Jenazah korban kini masih di rumah sakit dan belum dapat dipulangkan ke Indonesia sampai proses hukum selesai sesuai aturan setempat.
Keluarga Antin di Gede Bage, Bandung, kini menanti jenazah almarhumah. Keluarga berharap Antin dimakamkan di kampung halamannya.
Kasus ini memperpanjang daftar pelanggaran hak asasi TKI di negara penempatan. Belum pupus dari ingatan soal Siti Hajar dan Modesta Rengga Kaka terluka parah akibat penganiayaan majikan di Malaysia, Juni lalu. Yanti Iriyanti asal Cianjur, Jawa Barat, dihukum tembak pada 11 Januari 2008 karena dituduh membunuh majikan di Arab Saudi. Jenazah almarhumah masih ditunggu keluarganya.
Arab Saudi adalah negara penempatan TKI terbesar kedua setelah Malaysia. Sedikitnya 1 juta TKI di Arab Saudi dengan 96 persen pembantu rumah tangga.
Namun, sampai kini belum ada nota kesepahaman (MoU) perlindungan TKI antara Arab Saudi dan Indonesia. Data kepulangan TKI bermasalah Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI menunjukkan, 48 persen dari 45.626 TKI bermasalah yang pulang lewat Bandara Soekarno-Hatta, Banten, tahun 2008 berasal dari Arab Saudi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, 11 Juni lalu, mengungkapkan keseriusannya soal perlindungan TKI. ”Setiap saya berbicara dengan kepala pemerintahan negara sahabat, saya menitip agar TKI diberikan perhatian, dilindungi, dan diberikan hak-haknya,” katanya.
Analis Kebijakan Migrant CARE Wahyu Susilo meminta pemerintah memanfaatkan momentum pengesahan undang- undang perlindungan pembantu rumah tangga oleh Dewan Syura, Rabu (8/7), untuk mendesak Arab Saudi membuat MoU perlindungan TKI. (ham/mth)
Sumber: Kompas.Cetak (24/7)

Jumat, 02 Oktober 2009

Kekerasan itu masih terus menghantui perempuan dan anak

KOMPAS, Jumat, 19 Juni 2009 | 04:08 WIB
Kekerasan terhadap perempuan dan anak terus terjadi. Yang muncul sebagai pemberitaan terus-menerus di televisi saat ini adalah dugaan kekerasan dalam rumah tangga kepada Manohara Odelia.
Bila kasus Manohara menjadi pemberitaan, ada ribuan perempuan dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang tidak muncul ke permukaan.
Bukan saja karena mereka bukan sosok yang menjual sebagai berita sehingga seolah tak tampak, melainkan ada persoalan struktural menyangkut budaya: masyarakat masih melihat kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama di dalam rumah tangga, sebagai masalah privat, urusan internal rumah tangga.
Nilai budaya yang masih mengunggulkan laki-laki sebagai pemimpin dan perempuan yang dipimpin juga menyebabkan pandangan kekerasan boleh dilakukan bila perempuan dianggap tidak patuh pada nilai-nilai laki-laki. Karena dipandang sebagai masalah privat, mengungkap kepada publik dianggap aib. Dampaknya adalah pada hak korban untuk mendapat keadilan karena ada resistensi dari pelaku beserta keluarga dan lembaga tempat pelaku berada.
Cerminan situasi ini tampak antara lain dalam pemaparan para istri polisi Bhayangkari bersama Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta kepada media di Jakarta, Kamis (18/6) pagi. Para ibu mitra APIK tersebut menginginkan penanganan lebih adil bagi kasus perempuan dan anak korban KDRT di keluarga polisi.
Menurut Direktur LBH APIK Jakarta Estu Rakhmi Fanani, pengalaman APIK selama ini memperlihatkan, respons instansi bersangkutan tidak terlalu baik dalam menangani KDRT anggota kepolisian.
Semakin meningkat
Sejak lahir Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT), jumlah perempuan dan anak yang melaporkan kekerasan semakin bertambah.
Di Pusat Krisis Terpadu RS Cipto Mangunkusmo (PKT RSCM), misalnya, menurut ketuanya, dr Mutia Prayanti Errafana, SpOG, tiap tahun kasus yang ditangani cenderung naik. Hal ini antara lain karena lahirnya UU KDRT yang mengkriminalkan kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, dan seks yang terjadi di dalam rumah tangga.
PKT RSCM saat ini menangani sekitar 500 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. PKT RSCM berdiri sembilan tahun lalu sebagai upaya bersama Komnas Perempuan dan RSCM dalam menangani korban kekerasan berbasis jender terhadap perempuan dan anak.
Penanganan berbasis rumah sakit itu meliputi fisik dan psikologis korban dan bekerja sama dengan lembaga lain, seperti penegak hukum dan organisasi nonpemerintah yang menangani korban dengan basis komunitas.
Korban yang ditangani PKT memiliki latar belakang sosial-ekonomi beragam. Meskipun sebagian besar dari kelompok ekonomi lemah, ada juga istri perwira menengah tentara dan ada istri pejabat pemerintah daerah. Artinya, kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah budaya yang tidak mengenal kelas ekonomi.
Setelah sembilan tahun berdiri dan tahun ini PKT akhirnya masuk ke dalam struktur RSCM, tantangan yang dihadapi masih sama, yaitu pada tingkat kesadaran masyarakat. Dr Mutia menegaskan, harus ada mekanisme pemutus rantai kekerasan setelah ada perangkat hukum yang melarang.
Secara terpisah, Estu menyebutkan, penanganan pengaduan ke instansi tempat pelaku bekerja lama dan berbelit-belit. Korban dilempar ke sana-kemari dan tidak mendapat akses informasi penanganan kasusnya. ”Sering kali perempuan juga disudutkan, dikatakan tidak dapat melayani suami dengan baik,” kata Estu.
Bila akhirnya jatuh sanksi kepada pelaku, hukuman itu tidak memenuhi rasa keadilan karena biasanya berupa sanksi administratif, seperti penundaan kenaikan pangkat atau pemindahan tempat tugas.
Padahal, kekerasan bisa sangat serius, mulai dari tidak mengakui sebagai istri sah pada instansi tempat suami bekerja sehingga istri dan anak tidak mendapatkan haknya, perselingkuhan dan poligami, hingga penganiayaan fisik berat.
Data LBH APIK Jakarta memperlihatkan, pada 2008 lembaga ini menerima pengaduan dari 328 perempuan korban kekerasan, 12 kasus di antaranya oleh anggota kepolisian, 5 kasus oleh tentara, 31 kasus oleh PNS, dan 1 kasus oleh hakim.
Sosialisasi
Dr Mutia yang ikut merintis berdirinya PKT dan sejak 2005 memimpin lembaga itu, kini bersama mitra PKT tengah menyusun pemetaan wilayah geografis kekerasan berdasarkan data di PKT.
Dari hasil pemetaan itu akan dilakukan sosialisasi penghentian kekerasan. PKT bekerja sama dengan mitra, antara lain, lembaga nonpemerintah yang menangani korban kekerasan berdasarkan pendekatan komunitas dan perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia.
PKT RSCM juga tengah mengembangkan strategi memberdayakan perempuan korban secara ekonomi agar tidak tergantung kepada pelaku sehingga perempuan dapat terlepas dari kekerasan berbasis jender secara berkelanjutan.
Sementara itu, para istri polisi dan LBH APIK melalui pemaparan publik tersebut menginginkan penegak hukum bersikap profesional dan adil dalam menangani pengaduan.
Dalam kasus perceraian, misalnya, harus ada kepastian istri dan anak mendapatkan hak atas gaji suami. ”Biasanya setelah bercerai sulit istri dan anak mendapatkan haknya karena instansi berpihak kepada laki-laki,” kata Estu. ”Kami hanya menginginkan kerja sama dan dukungan positif dari semua pihak,” lanjutnya. (Ninuk MP)

Petugas Pendampingan Korban Kekerasan Mendapat Pelatihan

Temanggung, JTNR
Pemkab Temanggung melalui Badan Keluarga Berencana dan Perlindungan Perempuan (BKBPP) Kabupaten Temanggung menyelenggarakan pelatihan pendampingan korban kekerasan di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Maron, baru-baru ini. Pelatihan bertujuan Untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas pendamping dalam menangani korban kekerasan berbasis Gender.

Kepala BKBPP Msruchi, SK MKes mengatakan, meski secara kelembagaan memang telah mampu menjangkau sampai ketingkat kecamatan, akan tetapi banyaknya kasus dan jenis, cara, maupun modus operasinya, maka peningkatan kualitas sumber daya manusia para petugas pendampingan menjadi hal yang utama. Oleh karena itu menjadi petugas pendampingan yang handal dan professional, perlu terus dikembangkan.

�Pelatihan ini dilaksanakan sebagai upaya untuk mengatasi keterbatasan pelayanan dasar yang harus diutamakan oleh para pendamping dalam pencegahan, pelayanan rehabilitasi kesehatan, pelayanan rehabilitasi sosial, pelayanan bantuan hukum, pemulangan dan reintegrasi social dapat dilakukan dengan baik,�� katanya

Diungkapkan data korban kekerasan di Kabupaten Temanggung setiap tahun selalu meningkat tahun 2007 : 39 orang, tahun 2008 ada 60 orang dan sampai dengan bulan Juni 2009 ada 51 kasus yang melaporkan. Maraknya kasus kekerasan serta permasalahan lainnya mendorong Pemerintah Kabupaten Temanggung melakukan berbagai upaya agar korban tersebut dibantu dan dilayani. Di Kabupaten Temanggung telah terbentuk lembaga pelayanan seperti Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anank (P2TP2A) yang telah diperluas kelembagaan ini dengan membentuk PPT (Pos Pelayanan Terpadu) pada masing-masing kecamatan.

Kasubid Perlindungan Anak BKBPP Kabupaten Temanggung Ibu Nurmawati mengatakan, pelatihan diikuti 60 orang ini. Melalui pelatihan diharapkan untuk mempermudah dan memperlancar pelayanan terhadap korban kekerasan, mengembangkan system pelayanan dan penanganan terhadap korban kekerasan. Selain itu juga untuk mengembangkan jaringan kerja sama antara petugas dan lembaga-lembaga layanan lainnya. (*Edy Laks_ed.SPT)

Perempuan Korban Kekerasan Perlu Dilindungi

KEBIJAKAN UNTUK DUKUNG PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN BELUM DILAKSANAKAN

Posted by kabarin on Wednesday, April 22, 2009, 4:00
This item was posted in Rilis Berita Depkominfo

Jakarta, 22/4/2009 (Kominfo-Newsroom) � Komnas Perempuan mengungkapkan, pada tahun 2008
tercatat ada 29 produk perundangan dan kebijakan di tingkat nasional, daerah dan regional (ASEAN) yang kondusif untuk pemenuhan hak-hak perempuan dan anak korban kekerasan.
Namun demikian, kata Ketua Komnas Perempuan, Kamala Chandrakirana pada peluncuran buku �Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan� di Jakarta, Rabu (22/4), tidak ada jaminan seluruh peraturan itu akan dilaksanakan dengan baik.�Kami menyadari tidak ada jaminan apapun dari adanya terobosan baru tersebut akan dilaksanakan secara baik dan memberikan dampak langsung yang nyata pada kehidupan perempuan korban kekerasan,� katanya.
Menurutnya, tanpa dukungan dan desakan dari masyarakat yang terus-menerus, peraturan perundangan dan kebijakan yang sudah diterbitkan itu tetap hanya berupa lembaran-lembaran kertas yang mudah diabaikan. Untuk merealisasikan pemenuhan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan melalui perangkat hukum dan kebijakan, katanya, masyarakat memainkan peran yang sangat penting dan tidak tergantikan.
Dikemukakan bahwa Komnas Perempuan telah melakukan pendokumentasian intensif tentang segala bentuk kekerasan yang dialami kaum perempuan Indonesia dalam situasi konflik, proses migrasi tenaga kerja dan di dalam kehidupan rumah tangganya sendiri.
Mengenai buku yang diluncurkan, menurut Kamala, merupakan kumpulan tulisan beberapa tokoh agama dari Muhammadiyah, Persatuan Gereja Indonesia dan Konferensi Wali Gereja Indonesia serta merupakan hasil rangkaian pencarian cukup panjang terkait tanggapan agama atas suara-suara perempuan yang menjadi korban kekerasan.
Komnas Perempuan, tambahnya, mendorong institusi agama untuk lebih memiliki kemampuan dalam merespons dan berinisiatif melindungi keadilan dan hak perempuan korban kekerasan.
Hasil temuan pada beberapa penelitian yang telah dilakukan pihaknya, kata Kamala, menunjukkan bahwa mekanisme pemenuhan keadilan yang disediakan oleh negara belum memiliki perspektif pemenuhan keadilan untuk perempuan korban.
“Aparat penegak hukum seringkali mengutamakan prosedur dari pada substansi, mengggunakan pendekatan yang positivistic, bias jender, meminta uang yang tidak dapat dipenuhi, tidak memberi perlindungan bagi perempuan atau pendamping korban,” katanya. Hambatan lain, aparat penegak hukum memiliki pengetahuan yang terbatas tentang kekerasan terhadap perempuan, proses hukum yang panjang, serta ketidakberanian korban untuk berurusan dengan penegak hukum.
Mengacu pada kondisi tersebut, lembaga agama menjadi salah satu tempat bagi perempuan korban kekerasan menumpukkan harapan utamanya untuk memperoleh keadilan.
Sayangnya, faktanya, lembaga agama juga belum mampu merespon harapan tersebut.
Melalui buku tersebut, Komnas Perempuan bersama beberapa institusi agama mencoba membuat sebuah cara berteologi baru tentang bagaimana institusi agama mendengar, memaknai serta menjawab suara-suara perempuan korban dalam upayanya mendapatkan keadilan.
(T.Gs/ysoel)
sumber berita
Sumber : Depkominfo...

Kamis, 10 September 2009

FAKAS; Forum Anak Kab Semarang dikukuhkan oleh Bupati


Hak partisipasi anak mulai didengungkan diberbagai kabupaten/kota di pelosok nusantara, begitu pula di Provinsi Jawa Tengah. Menurut informasi dari BP3AKB provinsi Jateng yang membidangi perlindungan anak, bahwa di Jateng sudah ada 13 forum anak yang tersebar di kab/kota di Jateng, salah satunya adalah Ungaran (kabupaten Semarang). forum ini terbentuk diawali dengan lokakarya pembentukan forum anak pada tanggal 16 Juli 2009 di Tuntang yang diselenggrakan oleh Badan KB dan Pembedayaan Perempuan Kabupaten Semarang yang dihadiri dan dibuka secara langsung oleh Ibu Wakil Bupati Kab Semarang, Ibu Hj. Siti Ambar Fathonah. disamping itu juga dihadiri secara langsung oleh ketua KPAI Pusat Ibu Masnah Sari, beserta rombongan. Peserta juga mendapatkan pembekalan berkaitan dengan hak-hak anak dan konsep Kota Layak Anak, yang dismapaikan secara langsung oleh Ibu Sri Mulyanah (Kepala BP3AKB Jateng), Bapak Made Sutama (UNICEF Jateng-DIY), dan saudari Fifi (Forum Anak Kota Semarang). setelah anak-anak mendapatkan bekal hak anak, kemduian dilanjutkan dengan proses fasilitasi yang dipandu oleh Yayasan Lestari dan LPPA (lembaga perlindungan perempuan dan anak) Jawa Tengah. anak-anak mensepakati bahwa nama forum anak tersebut adalah "Forum Anak KAbupaten Semarang" yang disingkat dengan sebutan FAKAS. setelah proses pembentukan dilanjutkan denagn pengukuhan yang dikukuhkan secara langsung Wakil Bupati Kabupaten Semarang, dengan Surat Keputusan Bupati Semarang No. 411.4/0393/2009. pengukuhan dibarengkan dengan peringatan Hari Anak Nasional & Hari Kependuudkan Sedunia serta Pekan ASI sedunia tahun 2009 tingkat Kabupaten Semarang pada tanggal 28 Juli 2009.

Selasa, 18 Agustus 2009

Kehidupan Anak dipesisir Pantai Rembang

Ini merupakan salah wajah kondisi anak-anak yang ada di Indonesia. komunitas ini bisa kita jumpai didaerah pesisir pulau Jawa yang berdekatan dengan jalur pantura Jawa Tengah, tepatnya di Pesisir Pantai sebelah Barat Taman Rekreasi Kartini Kota Rembang. mereka dengan asyiknya main dan mandi ditepai pantai yang berdekatan dengan galangan kapal para nelayan. bila dilihat dari segi keselamatan, ini sangatlah membahayakan bagi jiwa anak-anak tersebut, karena sewaktu-waktu air gelombang ombak bisa datang dengan tiba-tiba. namun disatu sisi, mereka juga dengan asyiknya main untuk meluapkan ekpresinya, untuk menghilangkan rasa panasnya udara di pesisir akibat perubahan cuaca. dari temen-teman mereka, juga ada bernasib tidak menguntungkan, karena sebgian dari mereka masih ada yang belum sekolah, karena DO, keluarga dengan sendiri, dan sebagainya. Suatu hari tim LPPA Jateng, menghampiri mereka dan ngobrol sembari menikmati es kelapa muda di pesisir pantai, anak-anak dengan gambalngnya bercerita, bahwa mereka sudah tida lagi sekolah, dengan alasan sekolah mengahbiskan biaya, kemudian setelah lulus juga menapatkan pekerjaan. mereka lebih asyik ikut membantu orang tuanya mencari ikan di laut, atau hanya membantu mengangkut hasil tangkapan orang tuanya di daratan. namun ada juga yang sifatnya minta-minta ikan kepada nelayan yang habis melaut mencari ikan. istilah ini sering disebutnya dengan sebutan "ANI-ANI". kemudian hasilnya dikumpulkan untuk membeli jajanan atau mainan.

blogger templates | Make Money Online