Senin, 26 Oktober 2009

Berharap pada Menteri Perempuan

14 Oktober 2009
Dalam sepekan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diperkirakan mulai memanggil beberapa tokoh yang dinominasikan duduk dalam kabinet periode 2009-2014. Termasuk siapa yang akan menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, atau apapun namanya. Terlepas dari siapa yang ‘’beruntung’’ terpilih, banyak agenda yang mesti dijalankan kementerian ini.

DALAM satu dasawarsa terakhir ini, upaya serius penggiat isu kesetaraan gender dan hak-hak perempuan menuai banyak kendala berarti. Mandulnya gerakan untuk kesetaraan dan keadilan gender dapat dilihat dari fakta konkret sebagai berikut.

Pertama, dalam bidang pendidikan. Kondisi biaya sekolah yang mahal menjadi kendala bagi kaum perempuan untuk bisa mengakses ke jenjang pendidikan tinggi.

Sebab ketika dihadapkan pada proses pengambilan keputusan keluarga, anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama untuk bisa melanjutkan pendidikan daripada anak perempuan. Apalagi stereotif masyarakat masih memosisikan anak perempuan pada posisi domestik, sementara lelaki sebagai pencari nafkah utama.

Kedua, dalam bidang kesehatan. Anggaran yang tidak memadahi membuat pelayanan kesehatan makin mahal dan sulit diakses masyarakat. Hal ini membuat kualitas kesehatan masyarakat terabaikan, termasuk hak-hak kesehatan reproduksi perempuan.

Akibat konkretnya, indeks Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia kini terpuruk di ASEAN. Ini merupakan ancaman serius bagi generasi muda dan masa depan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Sebab generasi yang sehat dilahirkan dari ibu-ibu yang sehat.

Ketiga, dalam bidang ekonomi, di mana sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) belum menjadi prioritas pembangunan. Padahal di sektor ini, perempuan memiliki peran yang signifikan.

Bahkan saat krisis ekonomi 1997-1998, perempuan bisa survive dalam melanjutkan pendapatan ekonomi keluarga ketika kebanyakan pencari nafkah utama dalam keluarga (baca: suami) terkena PHK.

Belum lagi aturan dalam perbankan, di mana perempuan masih terdiskriminasi dan sering kesulitan dalam mengakses modal pinjaman.


Sensitif Gender

Keempat, dalam bidang politik dan hukum. Rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif menyebabkan banyak kebijakan yang dihasilkan tidak sensitif gender.

Akibatnya, perempuan dan anak-anak masih saja dalam posisi rentan terhadap kekerasan, baik di tingkat domestik atau rumah tangga, ruang publik atau negara.

Saat ini masih banyak peraturan yang masih diskriminatif terhadap perempuan. Demikian juga alokasi anggaran yang belum sensitif jender, serta pengawasan terhadap pelanggaran hak-hak perempuan dan anak-anak yang kerap terabaikan.

Fakta miris ini amat disayangkan, mengingat pemerintah melalui GBHN 1999 menyatakan dengan tegas bahwa pengarusutamaan gender merupakan kebijakan nasional yang harus diemban oleh lembaga yang mampu mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.

Untuk itu, menghadirkan strategi jitu gerakan kesetaraan dan keadilan gender agar mampu menjangkau ke seluruh instansi pemerintah, swasta, dan masyarakat menjadi suatu keniscayaan dan bersifat mendesak.
Strategi yang dikenal dengan istilah gender mainstreaming (GMS) atau pengarusutamaan gender itu dinilai banyak pengamat sangat penting. Maka, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9/Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional.

Pengertian pengarusutamaan gender adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia, melalui kebijakan dan program yang memerhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan-lelaki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Chairil Fadhil, 2003).

Dengan demikian, kesetaraan dan keadilan gender adalah kondisi yang perlu dibangun untuk mencapai masyarakat sejahtera.


Sejumlah Utang

Terkait dengan gerakan pengarusutamaan gender, harus bahwa masih ada sejumlah utang yang belum dibayar lunas oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP) periode 2004-2009, meskipun harus diakui ada sejumlah kemajuan yang dicapai.

Tugas utama yang belum terlaksana dengan baik adalah pengarusutamaan gender pada lembaga negara, mulai dari pusat hingga daerah. Padahal pengarusutamaan gender menjadi kewajiban setiap lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif karena diatur dalam UUD Dasar 1945.

Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi, lewat UU No 7/1984. Pemerintah juga mengeluarkan PP No 8/2008 yang mengatur keharusan memasukkan perspektif gender dalam menyusun anggaran.

Tidak hanya itu, Indonesia juga telah mengikatkan diri pada Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) PBB. Ada beberapa tujuan yang ditetapkan, antara lain memromosikan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan, menurunkan angka kematian anak, memerbaiki kesehatan ibu, dan segala yang berhubungan langsung dengan perspektif keadilan gender dan perempuan.

Karena pengarusutamaan gender belum berjalan baik, dan kerja itu masih memerlukan waktu dan tenaga, kita berharap kementerian yang menangani pemberdayaan perempuan dalam kabinet mendatang harus lebih serius memerhatikan pengarusutamaan gender di berbagai lembaga negara.

Kementerian juga harus bekerja sama dengan lembaga legislatif untuk menghasilkan produk-produk hukum yang berperspektif gender.

Dalam konteks ini, pembentukan lembaga khusus yang mengurusi PUG di tiap-tiap kementerian dan pemerintahan daerah menjadi kebutuhan mendesak. (Faizi, direktur eksekutif Cahaya Institute Yogyakarta-32)

0 Comments:

blogger templates | Make Money Online