Jumat, 02 Oktober 2009

Kekerasan itu masih terus menghantui perempuan dan anak

KOMPAS, Jumat, 19 Juni 2009 | 04:08 WIB
Kekerasan terhadap perempuan dan anak terus terjadi. Yang muncul sebagai pemberitaan terus-menerus di televisi saat ini adalah dugaan kekerasan dalam rumah tangga kepada Manohara Odelia.
Bila kasus Manohara menjadi pemberitaan, ada ribuan perempuan dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang tidak muncul ke permukaan.
Bukan saja karena mereka bukan sosok yang menjual sebagai berita sehingga seolah tak tampak, melainkan ada persoalan struktural menyangkut budaya: masyarakat masih melihat kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama di dalam rumah tangga, sebagai masalah privat, urusan internal rumah tangga.
Nilai budaya yang masih mengunggulkan laki-laki sebagai pemimpin dan perempuan yang dipimpin juga menyebabkan pandangan kekerasan boleh dilakukan bila perempuan dianggap tidak patuh pada nilai-nilai laki-laki. Karena dipandang sebagai masalah privat, mengungkap kepada publik dianggap aib. Dampaknya adalah pada hak korban untuk mendapat keadilan karena ada resistensi dari pelaku beserta keluarga dan lembaga tempat pelaku berada.
Cerminan situasi ini tampak antara lain dalam pemaparan para istri polisi Bhayangkari bersama Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta kepada media di Jakarta, Kamis (18/6) pagi. Para ibu mitra APIK tersebut menginginkan penanganan lebih adil bagi kasus perempuan dan anak korban KDRT di keluarga polisi.
Menurut Direktur LBH APIK Jakarta Estu Rakhmi Fanani, pengalaman APIK selama ini memperlihatkan, respons instansi bersangkutan tidak terlalu baik dalam menangani KDRT anggota kepolisian.
Semakin meningkat
Sejak lahir Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT), jumlah perempuan dan anak yang melaporkan kekerasan semakin bertambah.
Di Pusat Krisis Terpadu RS Cipto Mangunkusmo (PKT RSCM), misalnya, menurut ketuanya, dr Mutia Prayanti Errafana, SpOG, tiap tahun kasus yang ditangani cenderung naik. Hal ini antara lain karena lahirnya UU KDRT yang mengkriminalkan kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, dan seks yang terjadi di dalam rumah tangga.
PKT RSCM saat ini menangani sekitar 500 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. PKT RSCM berdiri sembilan tahun lalu sebagai upaya bersama Komnas Perempuan dan RSCM dalam menangani korban kekerasan berbasis jender terhadap perempuan dan anak.
Penanganan berbasis rumah sakit itu meliputi fisik dan psikologis korban dan bekerja sama dengan lembaga lain, seperti penegak hukum dan organisasi nonpemerintah yang menangani korban dengan basis komunitas.
Korban yang ditangani PKT memiliki latar belakang sosial-ekonomi beragam. Meskipun sebagian besar dari kelompok ekonomi lemah, ada juga istri perwira menengah tentara dan ada istri pejabat pemerintah daerah. Artinya, kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah budaya yang tidak mengenal kelas ekonomi.
Setelah sembilan tahun berdiri dan tahun ini PKT akhirnya masuk ke dalam struktur RSCM, tantangan yang dihadapi masih sama, yaitu pada tingkat kesadaran masyarakat. Dr Mutia menegaskan, harus ada mekanisme pemutus rantai kekerasan setelah ada perangkat hukum yang melarang.
Secara terpisah, Estu menyebutkan, penanganan pengaduan ke instansi tempat pelaku bekerja lama dan berbelit-belit. Korban dilempar ke sana-kemari dan tidak mendapat akses informasi penanganan kasusnya. ”Sering kali perempuan juga disudutkan, dikatakan tidak dapat melayani suami dengan baik,” kata Estu.
Bila akhirnya jatuh sanksi kepada pelaku, hukuman itu tidak memenuhi rasa keadilan karena biasanya berupa sanksi administratif, seperti penundaan kenaikan pangkat atau pemindahan tempat tugas.
Padahal, kekerasan bisa sangat serius, mulai dari tidak mengakui sebagai istri sah pada instansi tempat suami bekerja sehingga istri dan anak tidak mendapatkan haknya, perselingkuhan dan poligami, hingga penganiayaan fisik berat.
Data LBH APIK Jakarta memperlihatkan, pada 2008 lembaga ini menerima pengaduan dari 328 perempuan korban kekerasan, 12 kasus di antaranya oleh anggota kepolisian, 5 kasus oleh tentara, 31 kasus oleh PNS, dan 1 kasus oleh hakim.
Sosialisasi
Dr Mutia yang ikut merintis berdirinya PKT dan sejak 2005 memimpin lembaga itu, kini bersama mitra PKT tengah menyusun pemetaan wilayah geografis kekerasan berdasarkan data di PKT.
Dari hasil pemetaan itu akan dilakukan sosialisasi penghentian kekerasan. PKT bekerja sama dengan mitra, antara lain, lembaga nonpemerintah yang menangani korban kekerasan berdasarkan pendekatan komunitas dan perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia.
PKT RSCM juga tengah mengembangkan strategi memberdayakan perempuan korban secara ekonomi agar tidak tergantung kepada pelaku sehingga perempuan dapat terlepas dari kekerasan berbasis jender secara berkelanjutan.
Sementara itu, para istri polisi dan LBH APIK melalui pemaparan publik tersebut menginginkan penegak hukum bersikap profesional dan adil dalam menangani pengaduan.
Dalam kasus perceraian, misalnya, harus ada kepastian istri dan anak mendapatkan hak atas gaji suami. ”Biasanya setelah bercerai sulit istri dan anak mendapatkan haknya karena instansi berpihak kepada laki-laki,” kata Estu. ”Kami hanya menginginkan kerja sama dan dukungan positif dari semua pihak,” lanjutnya. (Ninuk MP)

0 Comments:

blogger templates | Make Money Online